Monday, August 30, 2004

Lepaskan Kepalanmu


Di suatu hutan hiduplah sekelompok monyet. Pada suatu hari, tatkala mereka tengah bermain, tampak oleh mereka sebuah toples kaca berleher panjang dan sempit yang bagian bawahnya tertanam di tanah. Di dasar toples itu ada kacang yang sudah dibubuhi dengan aroma yang disukai monyet. Rupanya toples itu adalah perangkap yang ditaruh di sana oleh seorang pemburu.

Salah seekor monyet muda mendekat dan memasukkan tangannya ke dalam toples untuk mengambil kacang-kacang tersebut. Akan tetapi tangannya yang terkepal menggenggam kacang tidak dapat dikeluarkan dari sana karena kepalan tangannya lebih besar daripada ukuran leher toples itu. Monyet ini meronta-ronta untuk mengeluarkan tangannya itu, namun tetap saja gagal.

Seekor monyet tua menasihati monyet muda itu: “Lepaskanlah kepalanmu atas kacang-kacang itu! Engkau akan bebas dengan mudah!” Namun monyet muda itu tidak mengindahkan anjuran tersebut, tetap saja ia bersikeras menggenggam kacang itu.

Beberapa saat kemudian, sang pemburu datang dari kejauhan. Sang monyet tua kembali meneriakkan nasihatnya: “Lepaskanlah kepalanmu sekarang juga agar engkau bebas!” Monyet muda itu ketakutan, namun tetap saja ia bersikeras untuk mengambil kacang itu. Akhirnya, ia tertangkap oleh sang pemburu.

Demikianlah, kadang kita juga sering mencengkeram dan tidak rela melepaskan hal-hal yang sepatutnya kita lepaskan: kemarahan, kebencian, iri hati, ketamakan, dan sebagainya. Apabila kita tetap tak bersedia melepas, tatkala kematian datang “menangkap” kita, semuanya akan terlambat sudah.

Bukankah lebih mudah jika kita melepaskan setiap masalah yang lampau, dan menatap hari esok dengan lebih cerah? Bukankah dunia akan menjadi lebih indah jika kita bisa melepaskan “kepalan” kita dan membagi kebahagiaan dengan orang lain?

Sunday, August 29, 2004

Petuah Malaysia


Jika kamu memancing ikan....
Setelah ikan itu terlekat di mata kail,
hendaklah kamu mengambil ikan itu....
Janganlah sesekali kamu LEPASKAN ia
semula ke dalam air begitu saja....
Karena ia akan SAKIT oleh karena bisanya
ketajaman mata kailmu dan mungkin ia akan
MENDERITA selagi ia masih hidup.

Begitulah juga .........
Setelah kamu memberi banyak
PENGHARAPAN kepada seseorang...
Setelah ia mulai MENYAYANGIMU hendaklah
kamu MENJAGA hatinya....
Janganlah sesekali kamu meninggalkannya
begitu saja....
Karena dia akan TERLUKA oleh kenangan
bersamamu dan mungkin TIDAK dapat
MELUPAKAN segalanya selagi dia
mengingatmu....


Jika kamu menadah air biarlah berpada,
jangan terlalu mengharap pada
takungannya dan janganlah menganggap ia
begitu teguh.... cukuplah sekadar keperluanmu....
Apabila sekali ia retak.... te ntu suka r untuk
kamu menambalnya semula.... Akhirnya ia
dibuang....
Sedangkan jika kamu coba memperbaikinya
mungkin ia masih dapat dipergunakan lagi....

Begitu juga jika kamu memiliki seseorang,
TERIMALAH seadanya....
Janganlah kamu terlalu mengaguminya dan
janganlah kamu menganggapnya begitu
istimewa....Anggaplah dia manusia biasa.
Apabila sekali dia melakukan KESILAPAN
bukan mudah bagi kamu untuk menerimanya....
akhirnya kamu KECEWA dan meninggalkannya.
Sedangkan jika kamu MEMAAFKANNYA boleh
jadi hubungan kamu akan TERUS hingga ke
akhirnya....

Jika kamu telah memiliki sepinggan nasi...
yang kamu pasti baik untuk dirimu.
Mengenyangkan. Berkhasiat.
Mengapa kamu berlengah, coba mencari
makanan yang lain..
Terlalu ingin mengejar kelezatan.
Kelak, nasi itu akan basi dan kamu tidak
boleh memakannya. Kamu akan menyesal.

Begitu juga jika kamu telah bertemu dengan
seorang insan... ..yang p asti membawa
KEBAIKAN kepada dirimu. Menyayangimu.
Mengasihimu.
Mengapa kamu berlengah, coba
MEMBANDINGKANNYA dengan yang lain.
Terlalu mengejar kesempurnaan.
Kelak, kamu akan KEHILANGANNYA apabila dia
menjadi milik orang lain
Kamu juga yang akan MENYESAL....


*********************************************************************************
"As the wise test gold by burning, cutting, and rubbing it on a piece
of touchstone, so are you to accept my words after examining them and
not merely out of regard for me."

Buddha.
==========================================================
http://harianto.blogspot.com
*****************************


Humor Oneng


DI APOTIK
Oneng : Mpok, aye mo beli vitamin buat anak aye.
Apoteker : Vitamin A, B atau C, bu?
Oneng : Ape aje deh, anak aye blon ngerti hurup
kok...!
------

ANTRI DI MESIN ATM

Bajuri : Ngeliatin ape lu, Neng?
Oneng (bisik2): Bang, aye tau PIN orang yang diri di
depan kite. Hee, hee!
Bajuri : Nyang bener lu, emang berape nomer PINnye?
Oneng : Empat bintang...!

-------
BERITA Duka

Oneng : (nangis) Mpook, tadi dokter nelpon katenye
Nyak meninggal..
Mpok Minah : Maap.., saya ikut berduka cita mpok
Oneng..
(Kriing..! Ada telp buat Oneng... habis terima
telpon, Oneng semakin keras nangisnya)

Mpok Minah : Maap, bukannya mau ikut campur...tapi
kenapa mpok Oneng nangis makin keras?
Oneng : Barusan adek Oneng nelpon, dia bilang
Nyaknye meninggal juga...!!


Wednesday, August 25, 2004

Air Putih



MENGAPA MINUM AIR PUTIH BANYAK-BANYAK...?


Ada satu pertanyaan yang masuk ke mailbox saya,yaitu "Mengapa harus minum
air putih
banyak-banyak..?"

Well, sebenarnya jawabannya cukup "mengerikan" tetapi karena sebuah
pertanyaan jujur harus dijawab dengan jujur, maka topik tersebut saya
tampilkan dalam rubrik De Facto hari ini.

Kira-kira 80% tubuh manusia terdiri dari air. Malah ada beberapa bagian
tubuh kita yang memiliki kadar air di atas 80%. Dua organ paling penting
dengan kadar air di atas 80% adalah : Otak dan Darah.


Otak memiliki komponen air sebanyak 90%, sementara darah memiliki Komponen
air 95%. Jatah minum manusia normal sedikitnya adalah 2 liter sehari atau 8
gelas sehari. Jumlah di atas harus ditambah bila anda seorang perokok.

Air sebanyak itu diperlukan untuk mengganti cairan yang keluar dari tubuh!
kita lewat air seni, keringat, pernapasan, dan sekresi.
Apa yang terjadi bila kita mengkonsumsi kurang dari 2 liter sehari...?

Tentu tubuh akan menyeimbangkan diri.
Caranya...? Dengan jalan "menyedot" air dari komponen tubuh Sendiri.
Dari otak...? Belum sampaisegitunya (wihh...bayangkan otak kering gimana
jadinya...),
melainkan dari sumber terdekat : Darah.

Darah yang disedot airnya akan menjadi kental. Akibat pengentalan darah
ini,maka perjalanannya akan kurang lancar ketimbang yang encer. Saat
melewati ginjal (tempat menyaring racun dari darah)ginjal akan bekerja
extra keras menyaring darah. Dan karena saringan dalam ginjal halus, tidak
jarang darah yang kental bisa menyebabkan perobekan
pada glomerulus ginjal. Akibatnya, air seni anda berwarna kemerahan,tanda
mulai bocornya saringan ginjal.

Bila dibiarkan terus menerus, anda mungkin suatu saat harus menghabiskan
400.000 rupiah seminggu untuk cuci darah Eh, tadi saya sudah bicara tentang
otak 'kan...? Nah saat arah kental mengalir lewat otak,perjalanannya agak
terhambat.

Otak tidak lagi "encer", dan karena sel-sel otak adalah yang paling boros
mengkonsumsi makanan dan oksigen, lambatnya aliran darah ini bisa
menyebabkan sel-sel otak cepat mati atau tidak berfungsi sebagaimana
mestinya..(ya wajarlah namanya juga kurang makan...)

Bila ini ditambah dengan penyakit jantung (yang juga kerjanya tambah berat
bila darah mengental...), maka serangan stroke bisa lebih lekas datang.

Sekarang tinggal anda pilih : melakukan "investasi" dengan minum sedikitnya
8 gelas sehari - atau "membayar bunga" lewat sakit ginjal atau stroke. Anda
yang pilih...!

Forwardlah E-mail ini kepada keluarga, sahabat, dan orang-orang yang Anda
kasihi!


Friday, August 20, 2004

Kan baru satu...

KAN BARU SATU...

Di daratan Cina konon ada harta karun yang dinamakan 18 patung Arahat.
Patung-patung ini terbuat dari emas murni yang masing-masing seberat
belasan kilogram.

Pada masa itu, ada seorang petani miskin yang bertani di sisi sebuah
gunung. Suatu hari, tanpa dinyana-nyana petani tersebut menemukan sebuah
patung arahat yang tersohor itu. Lantas ia bergegas pulang dan
menunjukkan patung temuannya itu kepada keluarga dan teman-temannya.
Tentu saja keluarganya menyambut dengan sorak-sorai kegembiraan.

"Horeee, sekarang kita bisa bersenang-senang sepanjang hidup!"

"Iya, kita menjadi jutawan!"

Akan tetapi petani itu tampak tidak bahagia. Sepanjang hari ia tampak
bermuram durja dan tiada hentinya menghembuskan nafas panjang. Adiknya
bertanya, "Kak, kamu kan sekarang sudah jadi kaya raya, kenapa kamu
terlihat sedih?"

Seraya mendesah sang petani menimpali, "Hhhhh… aku kan baru menemukan
satu... aku tak tahu harus di mana mencari 17 patung lainnya…."

Olala... dari cerita di atas, kita bisa memetik hikmah bahwa kebahagiaan
tidak bisa diukur dari seberapa banyak harta seseorang, tetapi dari
apakah ia merasa bersyukur atau berkecukupan dengan apa yang ada padanya.

HAPPINESS IS NOT GETTING WHAT YOU WANT, BUT WANTING WHAT YOU GET.

Kebahagiaan bukanlah mendapatkan apa yang Anda inginkan, melainkan
menginginkan apa yang Anda dapatkan.

Be Happy!

*********************************************************************************
"As the wise test gold by burning, cutting, and rubbing it on a piece
of touchstone, so are you to accept my words after examining them and
not merely out of regard for me."

Buddha.
==========================================================



Monday, August 09, 2004

Titipan

Sering kali aku berkata,

ketika orang memuji milikku,

bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,

bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi,

mengapa aku tak pernah bertanya,

mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?

Dan kalau bukan milikku,

apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan
milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,

ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali,

kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja

untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,

dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
Seolah ...

semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah ...
keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti
matematika:

aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih.

Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,


Gusti,

padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja"



(WS Rendra)

*********************************************************************************
"As the wise test gold by burning, cutting, and rubbing it on a piece
of touchstone, so are you to accept my words after examining them and
not merely out of regard for me."

Buddha.
==========================================================
http://harianto.blogspot.com
*****************************


Saturday, August 07, 2004

THE TIBETAN BOOK OF THE DEAD

Verses Of The Bardo

Oh Buddhas and Bodhisattvas abiding in the ten directions, endowed with great compassion, endowed with pre-knowledge, endowed with impeccable vision, endowed with love, affording protection to sentient beings, consent through the power of your great compassion to accept these offerings actually laid out and mentally created.
Oh you compassionate ones possessing the wisdom of understanding, the love of compassion, the power of acting, and of protecting in incomprehensible measure, one is passing through this world and leaving it behind. No friends does (s)he have, (s)he is without defenders, without protectors and kinsmen. The light of this world has set. (s)he goes from place to place, (s)he enters darkness, (s)he falls down a steep precipice, (s)he enters a jungle of solitude, (s)he is pursued by karmic forces, (s)he goes into a vast silence, (s)he is borne away on the great ocean, (s)he is wafted on the wind of karma, (s)he goes where there is no certainty, (s)he is caught in the great conflict, (s)he is obsessed by the great affecting spirit, (s)he is awed and terrified by the messengers of death. Existing karma has put her into repeated existence and no strength does (s)he have although the time has come to go alone.
Oh you compassionate ones, defend who is defenseless, protect who is unprotected, be his kinsman, protect her from the suffering in the depression of the Bardo, turn her from the storm wind of karma, turn her from the great awe and terror of the Lords of Death, liberate her from the long narrow way of the Bardo.
Oh compassionate ones who do not allow the force of your compassion to be weakened in assistance, who do not allow one to be in the miserable states of existence, forget not your ancient vows, you who do not allow sentient being to be influenced by habit, and protect from the misery of the Bardo.
Oh conquerors and your offspring abiding in the ten directions, Oh ocean congregation of the peaceful and the wrathful, Oh gurus and devas, you dakinis and faithful ones, Hearken now out of your great love and compassion, Obeisance to you, oh assemblage of gurus and dakinis, Out of your great love, lead us along the path.
When through illusion, I and others are wandering in samsára, Along the bright light path of undistracted listening, reflecting and meditating, May the gurus of the inspired line lead us, May the bands of mothers be our protectors, May we be liberated from the fearful narrow passage of the Bardo, May we be placed in the state of perfect enlightenment.
When through violent anger one is wandering in samsára, Along the bright light path of the wisdom of reflection, May the Bhagavan, Vajrasattva lead us, May the Mother Mamaki be our protector, May we be liberated from the fearful narrow passage of the Bardo, May we be placed in the state of perfect enlightenment.
When through intense pride one is wandering in samsára, Along the bright light path of the wisdom of equality, May the Bhagavan Ratna-Sambhava lead us, May the Mother of She-who-is-the-Buddha-Eye be our protector, May we be liberated from the fearful narrow passage of the Bardo, May we be placed in the state of perfect enlightenment.
When, through great attachment one is wandering in samsára, Along the bright light path of discriminating wisdom, May the Bhagavan Amitabha lead us May the Mother, She-of-white-raiment be our protector May we be liberated from the fearful narrow passage of the Bardo, May we be placed in the state of perfect enlightenment.
When, through intense jealousy one is wandering in samsára, Along the bright light path of perfected action, May the Bhagavan Amogha Siddhi lead us May the Mother, the faithful Tara be our protector May we be liberated from the fearful narrow passage of the Bardo, May we be placed in the state of perfect enlightenment.
When, through intense stupidity one is wandering in samsára, Along the bright light path of the wisdom of reality, May the Bhagavan Vairochana lead us May the Mother of Great Space be our protector May we be liberated from the fearful narrow passage of the Bardo, May we be placed in the state of perfect enlightenment.
* (Note: Vairochana and Amitabha may be interchanged.)
When, through intense illusion one is wandering in samsára, Along the bright light path of abandoning hallucinations of fear, awe, and terror, May the Bands of the Bhagavans of the Wrathful Ones lead us May the Bands of Wrathful Goddesses, Rich in Space, be our protectors, May we be liberated from the fearful narrow passage of the Bardo, May we be placed in the state of perfect enlightenment.
When, through intense conditioning one is wandering in samsára, Along the bright light path of Simultaneously-born Wisdom, May the heroic knowledge- holding deities lead us May the Bands of the Mothers, the Dakinis, be our protectors May we be liberated from the fearful narrow passage of the Bardo, May we be placed in the state of perfect enlightenment.
May the ethereal elements not rise up as enemies; May we come to see the realm of the white Buddha. May the watery elements not rise up as enemies; May we come to see the realm of the Blue Buddha. May the earthy elements not rise up as enemies; May we come to see the realm of the Yellow Buddha. May the fiery elements not rise up as enemies; May we come to see the realm of the Red Buddha. May the airy elements not rise up as enemies; May we come to see the realm of the Green Buddha. May the elements of these rainbow colors not rise up as enemies; May it come that all the realms of the Buddhas will be seen May it come that all the sounds in the Bardo will be known as one's own sounds, May it come that all the radiances will be known as one's own radiances, And may it come that the Tri-Kaya be realized in the Bardo.
Here begins the Root Verses of the Six Bardos:
O now when the Birthplace Bardo is dawning in one's mind Abandoning idleness as there is none in a devotee's life Entering into reality un-distractedly listening, reflecting and meditating, Carrying on to the path knowing the true nature of appearances of mind, May the Tri-Kaya be realized: Once that the human form is accomplished, May there be no time as opportunity in which to idle it away.
O now when the dream Bardo is dawning in one's mind Abandoning the inordinate corpse-like sleeping of the sleep of stupidity, May the mind un-distractedly remain in it's natural state In understanding the actual nature of dreams Practice in the clear light of miraculous transformation Acting not like brutes in slothfulness May the blending of sleep and actual waking experience be of value.
O now when the Dhyana Bardo is dawning in one's mind Abandoning the whole mass of distractions and illusions May the mind remain in the mood of timeless undistracted Samádhi May there be accomplishment in visualization and perfection At this time, one-pointedly with all other actions put aside May one not fall under the power of if misleading stupefying passions.
O now when the Bardo of the moment of death is dawning in one's mind Abandoning all awe, fear and terror of all phenomena May one recognize that whatever appears as being one's own thought forms May one know them as apparitions of the intermediate state It is said, there comes a time when a turning point is reached. Fear not the forms of the peaceful and wrathful who are one's own thought forms.
O now when the Bardo of rebirth is dawning in one's mind With one single wish, join with the results of meritorious acts! May the door of the womb be closed and the revulsion recollected The time has come when energy and pure love are needed May one cast off jealousy and meditate upon the father-mother
O procrastinating one, who thinks not of the coming of death Devoting oneself to the useless doings of this life, Improvident one is in dissipating ones opportunity Mistaken indeed would ones purpose be now if one returns empty handed Since Dharma is one's need, would one not devote oneself to the Dharma even now?
Thus say the Great Adepts in devotion: If the chosen teaching of the guru not be borne in mind would one not be acting as a traitor to oneself? It is of great importance that these root words be heard.
Here begins "The Path of Good Wishes Which Protects from Fear in the Bardo":
When the cast of chance of one's life is exhausted The relatives of the world avail one not When wandering alone by oneself in the Bardo O you conquerors, peaceful and wrathful, exercising the power of your compassion Let it come that the gloom of ignorance is dispelled
When wandering alone, parted from loving friends When the shapes of one's empty thought-forms dawn upon one here May the Buddhas, exercising the power of their divine compassion That there be neither awe nor terror in the Bardo
When the bright radiances of the five wisdoms shines upon one now May one, neither awed or terrified recognize them to be of oneself When the apparitions of the Peaceful and the Wrathful forms are dawning upon ones mind Let it be that with the assurance of fearlessness that one recognizes the Bardo
When experiencing miseries because of the results of one's actions Let it be that the conquerors, the Peaceful and the Wrathful dispel the miseries When the self-originating sound of reality reverberates like a thousand thunders Let it be that they are transmuted into the sounds of the Mahayana.
When one is unprotected and habitual influences have been followed here Beseech the conquerors, the Peaceful and the Wrathful for their protection When suffering miseries because of habitual propensities Let it be the blissful Samádhi of clear light dawning upon ones mind
When assuming supernormal rebirth in the Sidpa Bardo Let it be that the perverting revelations of Mara do not occur within When ones mind arrives where-so-ever one wishes Let it be that one not experience the illusory fright and awe from karma.
When the roaring's of savage beasts are uttered Let it be that they are transformed into the Six Syllables (the mantra of the jewel in the lotus) When pursued by snow, rain, wind and darkness Let it be that one sees with the celestial eyes of bright wisdom
Let it be that all sentient beings of the same harmonious order in the Bardo Without jealousy obtain re-birth in the Buddha-lands When suffering from intense miseries of hunger and thirst Let it be that one not experience the pangs of hunger and thirst, heat and cold.
When beholding one's parents in union Let it be that one see them as the divine pair, The conquerors, the Peaceful and the Wrathful, Father and Mother. With the ability of being born anywhere for the benefit of others May one be endowed with signs and graces
Obtaining for oneself a body, Let it be one that liberates all Without allowing karma to follow Let it be the merits which follow and be multiplied
Wherever one is born, there and then let it be that one meets the conquerors, the Peaceful and the Wrathful. With the ability to walk and talk at birth, May it come that one accomplishes the non-forgetting intellect and remember all ones past lives.
In all the various lore’s, great, small and intermediate Let it be that one masters hearing, reflecting and seeing In whatever place one is born let it be auspicious And may all sentient beings be endowed with happiness
O you conquerors, Peaceful and Wrathful, in likeness to your bodies, the number of your followers, duration of your life period, limits of your realms. And in the likeness of ones divine nature Let it be that all others equal you in every way
By the gift-waves if the innumerable Peaceful and Wrathful deities And by the gift-waves of the wholly pure reality And by the gift-waves of the one- pointed devotion of the mystics Let it be that whatever is wished for be fulfilled here and now.
The Colophon:
Through perfectly pure intention In the making of this, through the roots of the merits thereof May the protector-less sentient beings, Mothers, Be placed in the state of the Buddha Let the radiant glory illuminate Jambudvipa (this world) Let this treatise be auspicious And let goodness and virtue be perfected in every way.
The Path of Liberation Through Hearing, Reflecting, and Seeing in the Bardo:
Throughout the six realms of samsaric existence this teaching is known as "Liberation Through Hearing and Reflecting". It is not necessary to understand what this teaching means, but rather in simply listening to the words and letting one's own interpretations do the rest. The title means just what it says, particularly the use of the word "through". These teachings are the "Root Verses of the Bardo Thodol", the transition, state of change, life flux, basis of duality, between birth and death; a description of conditioned arising. The deities mentioned are representative of the different aspects of consciousness in one's own mind, and do not represent some external divine being. They form a mandala, a recognizable pattern of archetypal conscious thought forms. Psychologically, they are known to the individual minds of samsaric beings as expressions of egocentricism, namely: (1) ignorance,(2)jealousy, (3)desire, (4)pride, and (5)hatred, as well as the corresponding collective alternatives as (1)bodhisattvic mind,(2)impartiality (justice), (3)altruistic affection, (4)compassion, and (5)all-embracing love. The attributes 2 through 4 constitute the first(1). This teaching is important because of the changes in consciousness, and is not meant to be understood as an intellectual truth or conclusion. It is applicable to uprooting the habitual tendencies of conditioning in one's own mind, but it has no utility otherwise. This teaching is tantric in nature, utilizing duality as a vehicle of skillful means for expounding this dharma and penetrates to the deepest layers of collective unconsciousness. I post it not as an effort of self-aggrandizement, but only to offer it to you without any expectations of reward or condemnation, that all sentient beings realize enlightenment.

DEATH AND INTERMEDIATE STATES


"The Tibetan Book of the Dead," is a guide for the dead and dying. The first part, called "Chikhai Bardo," describes the moment of death. The second part, "Chonyid Bardo," deals with the states, which supervene immediately after death. The third part, "Sidpa Bardo," concerns the onset of the birth instinct and of prenatal events.
When the expiration hath ceased, the vital force will have sunk into the nerve center of Wisdom 1 and the Knower 2 will be experiencing the Clear Light of the natural condition. 3 Then the vital force, being thrown backwards and flying downward through the right and left nerves 4 the Intermediate State (Bardo) momentarily dawns.
The above [directions] should be applied before [the vital force hath] rushed into the left nerve [after first having traversed the navel nerve-center].
The time [ordinarily necessary for this motion of the vital-force] is as long as the respiration is still present, or about the time required for eating a meal.
Then the manner of application [of the instructions] is:
When the breathing is about to cease, it is best if the Transference hath been applied efficiently; if [the application] hath been inefficient, then [address the deceased] thus:
‘0h nobly-born’ [so and so by name], ‘the time hath now come for thee to seek the Path [in reality]. Thy breathing is about to cease. Thy guru hath set thee face to face before with the Clear Light; and now thou art about to experience its Reality in the Bardo state, wherein all things are like the void and cloudless sky, and the naked, spotless intellect is like unto a transparent vacuum without circumference or center. At this moment, know thou thyself-, and abide in that state.’ I, too, at this time, am setting thee face to face.
Having read this, repeat it many times in the ear of the person dying, even before the respiration hath ceased, so as to impress it on the mind [of the dying one].
If the respiration is about to cease, turn the dying one over on the right side, which posture is called the 'Lying Posture of a Lion.’ The throbbing of the arteries [on the right and left side of the throat] is to be pressed.
If the person dying is inclined to sleep, or if the sleeping state advances, that should be arrested, and the arteries pressed gently but firmly. Thereby the vital force will not be able to return from the median-nerve and will be sure to pass out through the Brahmanic aperture.5 Now the real setting-face-to-face is to be applied.
At this moment, the first glimpsing of the Bardo of the Clear Light of Reality, which is the Infallible Mind of the Dharmakaya, is experienced by all sentient beings.
After the respiration hath completely ceased, press the nerves of sleep firmly; and, a lama, or a person higher or more learned than thyself, impress in these words, thus:
‘Reverend Sir, now that thou art experiencing the Fundamental Clear Light, try to abide in that state which now thou art experiencing.’
And also in the case of any other person the reader shall set him face-to-face thus:
‘0h nobly-born’ [so-and-so], ‘listen. Now thou art experiencing the Radiance of the Clear Light of Pure Reality. Recognize it. 0h nobly-born, thy present intellect, in real nature void, not formed into anything as regards characteristics or color, naturally void, is the very Reality, the All-Good.
Thine own intellect, which is now void ness, yet not to be regarded as of the void ness of nothingness, but as being the intellect itself, unobstructed, shining, thrilling, and blissful, is the very consciousness, the All-good Buddha.
Thine own consciousness, not formed into anything, in reality void, and the intellect, shining and blissful, -these two, -are inseparable. The union of them is the Dharmakaya state of Perfect Enlightenment.6
Thine own consciousness, shining, void, and inseparable from the Great Body of Radiance, hath no birth, nor death, and is the Immutable Light of Buddha Amitabha.
Knowing this is sufficient. Recognizing the void ness of thine own intellect to be Buddhahood, and looking upon it as being thine own consciousness, is to keep thyself in the [state of the] divine mind of the Buddha.’
Repeat this distinctly and dearly three or [even] seven times. That will recall to the mind [of the dying one] the former [i.e. when living] setting-face-to-face by the guru. Secondly, it will cause the naked consciousness to be recognized as the Clear Light; and, thirdly, recognizing one's own self [thus], one becomes permanently united with the Dharmakaya and liberation will be certain.
[If when dying, one is familiar with this state, the wheel of rebirth is stopped and liberation is instantaneously achieved. But such spiritual efficiency is so very rare that the normal mental condition of the dying person is unequal to the supreme feat of holding on to the state in which the Clear Light shines. There follows a progressive descent into lower and lower states of the Bardo existence, and finally rebirth. Immediately after the first state of Chikhai Bardo comes the second stage, when the consciousness-principle leaves the body and says to itself. 'Am I dead, or am I not dead?' without being able to determine.]
But even though the Primary Clear Light be not recognized, the Clear Light of the second Bardo being recognized, Liberation will be attained. If not liberated even by that, then that called the third Bardo or the Chonyid Bardo dawns.
In this third stage of the Bardo, the karmic illusions come to shine. It is very important that this Great setting-face-to-face of the Chonyid Bardo be read: it hath much power and can do much good.
About this time [the deceased] can see that the share of food is being set aside, that the body is being stripped of its garments, that the place of the sleeping-rug is being swept; 7 can hear all the weeping and wailing of his friends and relatives, and, although he can see them and can hear them calling upon him, they cannot hear him calling upon them, so he goes away displeased.
At that time, sounds, lights, and rays-all three-are experienced. These awe, frighten, and terrify, and cause much fatigue. At this moment, this setting-face-to-face with the Bardo [during the experiencing] of Reality is to be applied. Call the deceased by name, and correctly and distinctly explain to him, as follows:
‘0h nobly-born, listen with full attention, without being distracted: There are six states of Bardo, namely: the natural state of Bardo while in the womb; the Bardo of the dream-state; the Bardo of ecstatic equilibrium, while in deep meditation; the Bardo of the moment of death; the Bardo [during the experiencing] of Reality, the Bardo of the inverse process of samsaric existence. These are the six.
0h nobly born, thou wilt experience three Bardos, the Bardo of the moment of death, the Bardo [during the experiencing] of Reality, and the Bardo while seeking rebirth. Of these three, up to yesterday, thou had experienced the Bardo of the moment of death. Although the Clear Light of Reality dawned upon thee, thou were unable to hold on, and so thou hast to wander here. Now henceforth thou art going to experience the [other] two, the Chonyid Bardo and the Sidpa Bardo.8
Thou wilt pay undistracted attention to that with which I am about to set thee face to face, and hold on;
0h nobly born, that which is called death hath now come. Thou art departing from this world, but thou art not the only one; [death] cometh to all. Do not cling, in fondness and weakness, to this life. Even though thou cling out of weakness, thou hast not the power to remain here. Thou wilt gain nothing more than wandering in this Samsára. 9 Be not attached [to this world]; be not weak. Remember the Triple Jem.10
0h nobly-born, whatever fear and terror may come to thee in the Chonyid Bardo, forget not these words; and, bearing their meaning at heart, go forwards: in them lies the vital secret of recognition:
Alas! When the Uncertain Experiencing of Reality is dawning upon me here,
With every thought of fear or terror or awe for all [apparitional appearances] set aside,
May I recognize whatever [visions] appear, as the reflections of mine own consciousness;
May I know them to be of the nature of apparitions in the Bardo: When at this all-important moment [of opportunity] of achieving a great end.
May I not fear the bands of Peaceful and Wrathful [Deities], mine own thought-forms.
Repeat thou these [verses] dearly, and remembering their significance as thou repeat them, go forwards, [Oh nobly-born]. Thereby, whatever visions of awe or terror appear, recognition is certain; and forget not this vital secret art lying therein.
0h nobly-born, when thy body and mind were separating, thou must have experienced a glimpse Of the Pure Truth, subtle, sparkling, bright dazzling, glorious, and radiantly awesome, in appearance like a mirage moving across a landscape in spring-time in one continuous stream of vibrations. Be not daunted thereby, nor terrified, nor awed. That is the radiance of thine own true nature. Recognize it.
From the midst of that radiance, the natural sound of Reality, reverberating like a thousand thunders simultaneously sounding, will come. That is the natural sound of thine thereby, nor terrified, nor awed.
The body, which thou hast now, is called the thought-body of propensities.11 Since thou hast not a material body of flesh and blood, whatever may come, -sounds, lights, or rays, -are, all three, unable to harm thee: thou art incapable of dying. It is quite sufficient for thee to know that these apparitions are thine own thought-forms. Recognize this to be the Bardo.
0h nobly-born, if thou dost not now recognize thine own thought forms, whatever form of meditation or of devotion thou may have performed while in the human world-if thou hast not met with this present teaching-the lights will daunt thee, the sounds will awe thee, and the rays will terrify thee. Should thou not know this an important key to the teachings, -not being able to recognize the sounds, lights, and rays, -thou wilt have to wander in the Samsára.

**********************************************************************************
Notes
1 The 'nerve-centers' are the 'psychic centers' (cakra). The 'nerve-center of wisdom' is located in the heart-center (anahata-cakra).
2 'Knower,' i.e. the mind in its knowing functions.
3 The mind in its natural, or primal, state.
4 That is, the 'psychic nerves,' pingala-nadi and ida-nadi.
5 Brahmarandhra, the fissure on the top of the cranium identified with sutura frontalis.

Kehidupan itu berharga

Dahulu kala, hiduplah seorang lelaki bernama Wang Ta Lin di Suchow. Semua kehidupan adalah berharga baginya. Ia membeli binatang-binatang dan melepaskannya dari kandang mereka. Tatkala anak-anak didesanya menangkap ikan atau burung-burung atau bahkan serangga, ia membayar mereka untuk melepaskan binatang-binatang tersebut pergi. Ia berkata kepada mereka,"Adalah tidak baik untuk membunuh. Tidakkah kalian lihat betapa bahagianya burung-burung itu dihutan? saat kamu menangkap mereka, pikirkanlah betapa khawatirnya induk mereka! Lihatlah betapa gembiranya ikan-ikan itu didalam air. Mereka berenang kesana kemari. Meeka adalah indah untuk dilihat. Mengapa kalian harus menangkap mereka dan membuat kematian bagi mereka? Kalian seharusnya tidak membunuh!".

Anak-anak ini akan pulang kerumah mereka dan menceritakan kepada orangtua mereka apa yang Wang katakan pada mereka. Dan orangtua mereka akan mengerti apa yang dimaksud, juga.

Kemudian Wng jatuh sakit.Ia menderia penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Para dokter menyuruh keluarganya untuk menggali kuburan baginya. pada saat dia akan meninggal, dia seakan-akan mendengar suara dewa berkata kepadanya. Dia tidak berani mempercayai telinganya.

Dewa itu berkata kepadanya, "Wang Talin, tiba saatnya bagimu untuk meninggal. Tetapi kamu telah menyelamatkan banyak nyawa, jadi kamu telah menyelamatkan nyawa kamu sendiri. Kamu tidak akan mati sekarang."

Wang membuka matanya."Saya belum mati!" katanya kepada keluarganya. Dia bangkit dari tempat tidurnya. Penyakitnya telah hilang.

Wang menjadi tidak meninggal. Dia hidup sampai berumur 97 tahun. Anak-anaknya, cucu-cucunya, buyut-buyutnya, dan cicit-cicitnya semua hidup bersama dengannya dalam satu keluarga besar yang bahagia.

Wang sangat beruntung karena ia memiliki ahti yang baik dan percaya bahwa semua kehidupan adalah berharga.


Sumber: The Love Of Life
Judul asli: Life Is Precious
Penerbit: The Corporate Body Of The Buddha Educational Foundation
Diterjemahkan oleh: Francis

Praktik Metta

MEMBEBASKAN KELINCI YANG TERJERAT


Guru besar Hui Neng hidup pada tahun 638-713 M. Keluarganya sangat miskin sehingga ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk bersekolah, belajar membaca maupun menulis. Walaupun begitu, Hui Neng kecil memiliki kebijaksanaan alami yang begitu dalam. Dan secepat ia mengenal ajaran Buddha secepat itu pula ia membulatkan tekadnya untuk menjadi bhiksu.Ia belajar dengan tekun sehingga mendapatkan penerangan dalam waktu yang tidak begitu lama. Gurunya, Patriach Kelima atau pemimpin dari sekolah Ch'an, memberikannya jubah dan mangkuk yang berasal dari Patriach Pertama, Bodhidharma yang dibawanya dari India.
Hui Neng menjadi Patriarch ke Enam dari sekolah Ch'an atau yang dikenal dengan sebutan Zen di Jepang.

Ketika ia menerima penerangan, ia menyadari bahwa masalah yang dihadapi oleh manusia disebabkan oleh karena perbuatan mereka membunuh hewan-hewan untuk dijadikan makanan. Ia menyuruh orang-orang tersebut untuk berhenti memakan makhluk-makhluk tersebut, tetapi tidak seorangpun yang mendengarnya.

Hui Neng merasa sangat kasihan kepada para pemburu tersebut yang membunuh hewan-hewan, sehingga ia kemudian melepas jubahnya dan membiarkan rambutnya tumbuh sehingga ia tidak lagi menyerupai seorang bhiksu. Ia kemudian bergabung dengan para pemburu yang menghabiskan waktu berbulan bulan berburu dihutan dan digunung.

Hui Neng tidak mau melakukan penembakan ataupun memasang jebakan, sehingga oleh para pemburu tersebut ia disuruh mengawasi jala yang dipakai untuk menjerat hewan-hewan. Ini adalah pekerjaan yang ditunggu-tunggunya. Bila ia melihat seekor rusa atau kelinci berada dijala tersebut, dan jika para pemburu sedang tidak berada ditempat, ia akan melepaskan binatang-binatang tersebut. Jika para pemburu tersebut berada ditempat itu, ia akan menangis dan memohon kepada para pemburu agar bersedia melepas binatang-binatang malang tersebut,

Ia tinggal bersama para pemburu tersebut selama enam belas tahun. Dengan cara demikian, ia tidak saja telah menyelamatkan banyak binatang melainkan juga mendidik kembali para pemburu tersebut dengan baik. Mereka akhirnya menyadari kekejaman dari tindakan mereka dan menemukan jalan lain untuk hidup.

Kemudian Hui Neng mendirikan sebuah vihara. Ia sangat baik dan bijaksana sehingga banyak orang yang berdatangan dari berbagai tempat yang jauh untuk belajar darinya dan menjadi seorang umat Buddha. Murid-muridnya membawa Ch'an atau Zen ke Korea dan Jepang dan sekarang bahkan telah menyebar ke Eropa dan Amerika juga.

Sumber: The Love Of Life
Judul asli: Releasing Trapped Rabbits
Penerbit: The Corporate Body Of The Buddha Educational Foundation
Diterjemahkan oleh: Francis

Friday, August 06, 2004

resiko kanker





Karedok Mengandung Residu Pestisida Metasiklor

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa "karedok", salah satu makanan khas di
Jawa Barat (seperti gado-gado), ternyata terindikasi mengandung residu
pestisida metasiklor tertinggi yaitu sebesar 96,8 persen.

Menurut Kepala Humas Institut Pertanian Bogor (IPB), dr Agus Lelana kepada
Antara di Bogor, Rabu (16/6), hal itu diungkapkan pakar makanan iradiasi
BATAN, Dr Zubaidah Irawati pada sebuah seminar bertajuk "Mutu dan Keamanan
Pangan" di Kampus IPB Darmaga Bogor

"Hal ini bisa jadi karena sayur-sayuran mentah yang terdapat pada karedok
tidak tercuci atau sukar larut dalam air," kata Zubaidah Irawati. Menurut
dia, residu pestisida yang menempel pada makanan dapat bersifat neurotoksik,
terutama yang berasal dari golongan siklonida terklorasi.

Gejalanya adalah bisa membuat kepala pusing, perut mual dan muntah.
"Kurangnya pengetahuan kita akan bahaya dari bahan-bahan aditif tersebut
menyebabkan kita harus menerima beberapa konsekuensi apabila
mengonsumsinya," katanya.

Karena, kata dia, bahan-bahan tersebut dapat bersifat mutagenik ataupun
karsinogenik alias menyebabkan kanker, dan organ-organ yang menjadi
sasarannya antara lain adalah hati dan ginjal. Dalam seminar juga mengemuka
bahwa persoalan keamanan pangan masih perlu diperhatikan lebih lanjut.

Menurut salah seorang pembicara lainnya Prof Dr Ir Betty Sri Laksmi Jenie
MS, persoalan keamanan pangan di Indonesia masih berkutat pada persoalan
sanitasi dan menyebabkan diare.

Ia menjelaskan bahwa angka kematian pada anak akibat diare di Indonesia
menurut WHO (badan kesehatan dunia) pada tahun 2001 sebesar 2,2 juta anak.
Ditambahkannya bahwa persentase penyebab diare melalui perantara pangan
adalah sebesar 70 persen.

Ia menyebut "angka yang luar biasa besar", dan hal itu sumbernya ada pada
jajanan anak-anak sekolahan seperti bakso, gado-gado, mie ayam, nasi rames,
siomay dan soto ayam. Berdasarkan penelitian WHO tersebut, jajanan dimaksud
banyak mengandung beberapa pathogen (bibit penyakit).

Dari makanan jajanan tersebut, gado-gado mengandung pathogen terbanyak yaitu
mengandung E Coli (diare) 6,03 persen, S Aureus 3,72 persen dan diketahui
juga mengandung Vibrio cholerae (kolera) dan E coli (diare).

Letusan penyakit asal pangan (Foodborne Disease) rupanya tidak hanya menimpa
negara-negara berkembang, karena di negara majupun juga terjadi, demikian
Prof Dr Betty Sri Laksmi Jenie.

Republika, 16/06/2004
****


Minuman Bersoda Meningkatkan Resiko Kanker

Hasil sejumlah studi menunjukkan bahwa mengkonsumsi minuman bersoda bisa
meningkatkan resiko kanker esophagus (kerongkongan). Hal ini terungkap dalam
pertemuan para ahli di bidang saluran pencernakan dan kanker di New Orleans,
Amerika Serikat.

Pertemuan menyimpulkan bahwa makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh
akan berpengaruh terhadap resiko serangan kanker. “Hasil penelitian
menunjukkan dukungan akan rekomendasi medis tentang makan secara sehat,”
kata Dr Lee Kaplan dari Massachusetts General Hospital.

Sebuah studi yang dilakukan di Amerika Serikat oleh tim dari Tata Memorial
Hospital, India, menunjukkan bahwa kenaikan konsumsi minuman ringan
berkarbonat diikuti oleh naiknya kasus kanker esophagus.

Data dari Departemen Pertanian AS menunjukkan bahwa konsumsi minuman bersoda
meningkat 450% dalam 50 tahu terakhir, dari rata-rata 10,8 galon di tahun
1946 menjadi 49,2 galon di tahun 2000.

Sementara itu dalam 25 tahun terakhir kasus kanker kerongkongan naik 570%
pada pria kulit putih Amerika. Di tahun 2003 tercatat 13.900 penderita dan
lebih dari 10.000 di antaranya adalah pria. Hampir semua penderita meninggal
dunia akibat penyakit tersebut.

Tim peneliti menyimpulkan bahwa kenaikan kasus kanker esophagus tersebut
berhubungan dengan naiknya konsumsi minuman bersoda. Kesimpulan mereka juga
didukung oleh dasar biologis yang kuat dari hasil studi lainnya.

Minuman bersoda menyebabkan lambung menggembung dan menyemburkan kembali
sebagian ke arah kerongkongan. Proses ini diketahui berhubungan dengan
terbentuknya kanker.

Tim peneliti menemukan kecenderungan yang sama di hampir semua negara di
dunia. Negara yang konsumsi per kapitanya mencapai 20 galon minuman bersoda
per tahun menunjukkan kenaikan kasus kanker kerongkongan yang signifikan.

“Hasil studi tersebut menunjukkan kuatnya korelasi antara pola kebiasaan
makan dan minum dengan kesehatan,” kata Dr Mohandas Mallath, ketua tim
peneliti.

Astaga, 19/05/2004


_______________________________________________
No banners. No pop-ups. No kidding.
Make My Way your home on the Web - http://www.myway.com

ANNATA

Pikiran (Citta) atau keadaan bathin , pada kenyataannya timbul dan lenyap seketika dan disusul kembali dengan bentuk ‘Citta’ yg lain. Ini terjadi secara berkesinambungan dengan cepat sekali bagaikan kilat (dalam buku “The Buddha’s explanation of the Universe” terbitan tahun 1957 oleh penerbit Lanka Bauddha Mandalaya Fund,135,Turret Road,Colombo, Ceylon , dengan author seorang sarjana Buddhis asal Ceylon bernama C.P.Ranasinghe , menyebutkan bahwa “ The Buddha declared that the primary factor of the universe is the mind (Citta), and that the force of the mind is supreme. The Buddha explained that each living being in the universe is a unit of mind and said that in features and performance a unit of mind resemble a unit of element, if not for the fact that in rapidity it is faster and in force it is immeasurably greater. The mind beats at the speed of about 3,000,000,000,000 per duration of a flash of lightning and this rate of repetition is regular and constant”)



Karena demikian cepatnya perubahan dari timbul dan lenyapnya ‘Citta’, maka seolah-olah hal itu hanya berupa satu ‘Citta’ (keadaan ini sering diartikan sebagai pikiran). Kondisi seperti demikian sering menimbulkan anggapan bahwa ‘Citta’ itu sebagai ‘Aku’

Untuk alasan yg sama, kata ‘Pikiran’ juga memberikan gagasan yg salah. Kita sering mendengar perkataan ‘menguasai pikiran’ atau ‘mengontrol pikiran’, sehingga banyak orang berpikir bahwa pikiran adalah sesuatu yg statis, dapat dikuasai dan di control. Pada kenyataannya, bentuk-bentuk pikiran itu tidak dapat kita tetapkan sebagai ‘Aku’ atau ‘Kepunyaanku’



Apabila kita berkuasa atas diri kita, tidak mungkin kita akan menjadi tua, sakit dan mati. Oleh karena itu, menjadi tua ,sakit dan mati tidak dapat kita hindari. Tidak akan….dan tidak akan pernah kita dapat menjadi tuan dari pikiran kita sendiri. Perasaan senang dan tidak senang tidak dapat kita bentuk dengan semau kita. Hal ini akan timbul apabila ada kondisi yg tepat ( paticasammupada), yang menunjang kearah itu. Jika kita sedang menyantap makanan yg telah kita persiapan sesuai selera, pasti akan menyenangkan sekali untuk disantap. Jika orang lain menghina, timbul perasaan marah yg tidak dapat kita hindari. Kita dapat membuat seribu alasan sesudahnya dan berusaha utk mengerti orang lain, tetapi kita tidak dapat menghindari perasaan marah yg telah timbul sebelumnya. Karenanya, perasaan suka dan tidak suka dan bahkan mempersoalkan kesukaan dan ketidaksukaan, semuanya ternyata bukanlah ‘Aku’. Sebenarnya hal itu terdiri dari keadaan bentuk-bentuk ‘Citta’ (pikiran) yg timbul sebagai akibat kondisi-kondisi yg tepat untuk menimbulkannya.



Kita cenderung menganggap bahwa pikiran sebagai ‘Aku’, misalnya, apabila kita menyenangi sesuatu, kita menganggap kesenangan itu sebagai ‘Aku’ ; padahal realitanya, pada momen-momen yg lain, kita memiliki ketidaksukaan; keadaan ini membuat kita menjadi heran……kemana gerangan perginya sesuatu yg kita sebut sebagai ‘Aku’ itu?

Cukup manusiawi jika orang memiliki gagasan tentang ‘Aku’ dan berpegang teguh pada hal itu. Guru Buddha pun mengetahui hal itu. Oleh sebab itu, setelah menembus ‘Pencerahan Agung’, Beliau merenung sejenak untuk cenderung tidak mengajarkan ‘Jalan’ yg telah ditemukanNya kepada umat manusia. Akan tetapi, Guru Buddha juga mengetahui bahwa manusia mempunyai tingkat kemampuan bathin/pikiran/pengertian yg berbeda-beda. Dapat kita baca dalam Samyutta Nikaya (Sagatha-Vagga, Bab VI, Brahma Sutta bab 1 bagian pertama The Entreaty), bahwa Guru Buddha kemudian menembusi dunia dengan pandangan Buddha dan melihat manusia memiliki tingkat kebathinan yg berbeda-beda, yg mana beberapa diantaranya sebenarnya dapat menerima ajaranNya.

“Seperti teratai-teratai yg berwarna biru, merah atau putih di dalam sebuah kolam, dimana beberapa pucuk teratai masih berada di bawah permukaan air dan beberapa yg sedang tumbuh menuju ke permukaan air, serta beberapa bunga yg sudah muncul di permukaan air, tanpa terkena lumpur; demikianlah Sang Tathagata melihat dunia ini dengan mata bathinNya. Ia melihat makhluk-makhluk yg bathinnya masih sedikit kekotorannya dan yg masih tebal kekotorannya, makhluk-makhluk yg cerdas dan yg dungu, yg baik dan yg buruk wataknya, yg patuh dan yg tidak patuh; beberapa diantara mereka dihantui kekuatiran akan perbuatan-perbuatan salah yg telah dilakukan dan kekuatiran akan dilahirkan di alam yg tidak diinginkan. Oleh karena itu, Guru Buddha bertekad utk mengajarkan ‘Jalan’ yg telah ditemukanNya demi kebahagiaan semua makhluk”



Citta (pikiran) atau bathin mempunyai kondisi, dan tiap ‘Citta’ menumpuk pengalaman baru, yg akan memberi kondisi pada ‘Citta’ yg akan datang. Setiap orang menimbun selera, kemampuan, kesukaan dan ketidaksukaan yg berbeda-beda. Seseorang tidak selamanya dpt mengetahui suatu kondisi yg menyebabkan seseorang berlaku seperti ini atau seperti itu. Tetapi kadang-kadang dapat diketahui, misalnya ada seseorang yg melekat pada benda-benda tertentu, diantaranya ada yg sangat merusak/merugikan orang lain. Edukasi seseorang dan lingkungan dimana ia berdiam, merupakan suatu kondisi untuk terjadinya berbagai bentuk ikatan (kebiasaan-kebiasaannya). Di beberapa daerah terdapat kebiasaan meminum kopi secara berlebih-lebihan sepanjang hari, dan bahkan ada yg memberikan kopi kepada anak yg masih kecil, sehingga orang-orang tersebut sudah mengenal rasa kopi semenjak kecil. Kecanduan meminum alcohol juga terjadi melalui proses yg sama. Pada mulanya orang mulai meminum alcohol sedikit demi sedikit setiap hari, dan secara bertahap keterikatannya semakin bertambah. Setiap orang harus berusaha mengetahui sampai sejauh mana keterikatan yg telah ditimbunnya, dan berusaha menilai apakah hal demikian memberikan rasa bahagia atau malah sebaliknya.



Pengertian tentang keadaan yg sesungguhnya (Kebijaksanaan/Prajna/Panna), dapat memberikan kondisi pada seseorang untuk memperoleh ‘Citta’ yg baik dan menerapkan moral-kebajikan. Tidak ada ‘Aku’ yg dapat memaksa kita utk berbuat atau melakukan moral-kebajikan. Setiap orang dapat membuktikan hal ini dalam kehidupan sehari-hari melalui realisasi pandangan segala sesuatu sebagaimana apa adanya. Misalkan, seseorang berkata : “hari ini ‘Aku’ akan melakukan kebaikan pada setiap orang”; dapatkah kita mencegah diri utk tiba-tiba berkata yg kurang baik? Pada umumnya hal ini terjadi tanpa kita sadari terlebih dahulu. Jika kita dpt menekan rasa amarah kita utk sejenak, maka kita cenderung berpikir bahwa ada ‘Aku’ yg dapat menekan hawa amarah. Sesungguhnya, pada saat itu ada ‘Citta’ lain yg bukan berkondisi marah, yg timbul dari kondisi-kondisi yg lain. Setelah itu, timbul lagi kemarahan, karena rasa marah itu sebenarnya tidak bisa hilang/terhapus begitu saja oleh suatu ‘tekanan’. Hanya Panna /Kebijaksanaan yg dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yg dpt melenyapkan segala sesuatu yg kurang baik di dlm diri kita secar bertahap. Akan tetapi, kebijaksanaan itu bukan lah ‘Aku’ ; hal ini dpt timbul/terjadi apabila ada kondisi-kondisi yg tepat ke arah itu . Kita dapat mengalami semua fenomena/gejolak bathin dan fisik di dlm dan di sekeliling kita. Bila kita telah dpt memahami bahwa tidak ada satu pun dari fenomena-fenomena bathin dan fisik ini yg tetap/kekal, maka sekarang kita mengerti bahwa fenomena-fenomena tsb bukanlah ‘Aku’. Guru Buddha menerangkan kepada kita semua, bahwa dengan pengertian dan pemahaman, yakni melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka perbuatan jahat (akusala kamma) dapat dilenyapkan.

Thursday, August 05, 2004

Idiot

Someone calls you an idiot. Then you start thinking, 'How can they call
me an idiot? They've got no right to call me an idiot! How rude to call
me an idiot! I'll get them back for calling me an idiot! And you suddenly
realise that you have just let them call you an idiot another four times.

Every time you remember what they said, you allow them to call you an
idiot. Therein lies the problem. If someone calls you an idiot and you
immediately let it go, then it doesn't bother you. There is the solution.
Why allow other people to control your inner happiness?

========================================================
http://harianto.blogspot.com
*****************************


Monday, August 02, 2004

Penjara

PENJARA PIKIRAN


Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia
berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya, dengan gembira dia
melompat-lompat menikmati kebebasannya. Di perjalanan dia bertemu dengan
seekor belalang lain, namun dia keheranan mengapa belalang itu bisa
melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.

Dengan penasaran dia menghampiri belalang lain itu dan bertanya, "Mengapa
kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh dariku, padahal kita tidak
jauh berbeda dari usia maupun ukuran tubuh?" Belalang itu menjawabnya
dengan pertanyaan, "Di manakah kau tinggal selama ini? Semua belalang
yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan."
Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang
telah membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang
hidup di alam bebas.

Kadang-kadang kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami
hal yang sama dengan belalang tersebut. Lingkungan yang buruk, hinaan,
trauma masa lalu, kegagalan beruntun, perkataan teman, tradisi, dan
kebiasaan bisa membuat kita terpenjara dalam kotak semu yang mementahkan
potensi kita.

Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apa yang mereka voniskan
kepada kita tanpa berpikir dalam-dalam bahwa apakah hal itu benar adanya
atau benarkah kita selemah itu? Lebih parah lagi, kita acap kali lebih
memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.

Tahukah Anda bahwa gajah yang sangat kuat bisa diikat hanya dengan seutas
tali yang terikat pada sebilah pancang kecil? Gajah sudah akan merasa
dirinya tidak bisa bebas jika ada "sesuatu" yang mengikat kakinya,
padahal "sesuatu" itu bisa jadi hanya seutas tali kecil...

Pernahkah Anda bertanya kepada diri Anda sendiri bahwa Anda bisa
"melompat lebih tinggi dan lebih jauh" kalau Anda mau menyingkirkan
"penjara" itu? Tidakkah Anda ingin membebaskan diri agar Anda bisa
mencapai sesuatu yang selama ini Anda anggap di luar batas kemampuan dan
pemikiran Anda?

Sebagai manusia kita berkemampuan untuk berjuang, tidak menyerah begitu
saja kepada apa yang kita alami. Karena itu, teruslah berusaha mencapai
segala aspirasi positif yang ingin Anda capai. Sakit memang, lelah
memang, tapi jika Anda sudah sampai di puncak, semua pengorbanan itu
pasti akan terbayar. Pada dasarnya, kehidupan Anda akan lebih baik kalau
Anda hidup dengan cara hidup pilihan Anda sendiri, bukan dengan cara yang
dipilihkan orang lain untuk Anda.

Be Happy!

-------------------------------------------------------------------------------

========================================================
http://harianto.blogspot.com
http://harianto-useful.blogspot.com
*****************************