Wednesday, February 16, 2005

Kerikil = Buddha (3)

Konsumsi yang Berkesadaran

Y.A. Maha Biksu Thich Nhat Hanh
Diterjemahkan oleh Jimmy Lominto


Saya punya sebuah kantong kecil yang berisi batu kerikil: satu, dua,
tiga, empat, lima, dan enam butir. Kerikil-kerikil ini adalah untuk
meditasi duduk. Adik-adik yang masih muda bisa membuat sebuah kantong kecil
untuk diri kalian masing-masing dan kumpulkan enam butir kerikil macam
ini untuk berlatih meditasi duduk. Saya akan jelaskan pada kalian
bagaimana melakukan meditasi kerikil. Saat kalian temukan enam butir kerikil
macam ini, cucilah dengan sabun, lalu keringkan, dan kalian bisa bawa
kerikil itu ke dalam aula meditasi dan duduklah di dekat Buddha.
Tunjukkan Buddha enam butir kerikil kalian. Ini memberikan saya perasaan yang
sangat menyenangkan, menggenggam kerikil dalam tangan saya.

Saya punya seorang teman yang tinggal di Jerman dan dia punya sebuah
mobil yang sangat mahal. Suatu ketika saya duduk di dalam mobilnya dan
dia sedang menyetir ke tempat di mana kami akan mengadakan retret lima
hari. Dalam perjalanan, dia bicara dengan orang lain di telpon dan saya
sadar bahaya sekali bicara di telpon sambil nyetir. Dia berhenti di
dekat sebuah hutan dan kami berlatih meditasi jalan di hutan. Saya melihat
sebuah buah pinus dan saya taruh buah itu ke dalam mobil, ke atas
dasbor mobil untuk dia lihat. Dan saya katakan pada teman saya, “Setiap kali
kau lihat buah pinus ini, kau lihat aku, dan engkau tidak akan bicara.”
Dan setelah itu, ia pun berhenti bicara di telpon saat sedang nyetir.
Tapi suatu hari, ketika dia menerima telpon yang dia anggap sangat
penting, dia sangat ingin bicara , maka ia lalu membuka sebuah kotak kecil
dan ditaruhnya buah pinus itu ke dalam kotak sebelum angkat
telpon…sebab, ketika dia melihat buah pinus itu, dia tidak bisa bicara. Dia merasa
tidak nyaman bicara saat melihat saya di dalam buah pinus itu. Ketika
saya masuk kembali ke mobil, saya tidak melihat buah pinus lagi. Kata
saya, “Kemana buah pinus itu? Kenapa tidak ada di sini lagi?” Dan ia pun
berkata, “Baru saja kemarin, saya betul-betul perlu bicara di telpon,
itulah sebabnya saya sembunyikan buah pinus bhante.” Ternyata, saya
tidak cukup beruntung!

Buah pinus itu bagaikan kehadiran guru, kehadiran sahabat, kehadiran
Buddha, kehadiran Sangha, komunitas praktik. Ia ada di sana untuk
melindungi anda dan ia membantu anda melindungi diri anda sendiri. Kerikil ini
bagaikan buah pinus dan saya ingin anda semua punya kerikil macam ini
dalam kantong anda, selalu. Setiap kali anda merasa amarah muncul dalam
diri anda, setiap kali anda merasa kedamaian absen dalam diri anda,
soliditas, dan suka cita absen dalam diri anda, anda selalu dapat
memasukkan tangan anda ke dalam kantong, ambil kerikil itu, dan mulai bernafas:
“Nafas masuk, kutenangkan tubuhku, nafas keluar, aku tersenyum,” paling
tidak sebanyak tiga kali. Jika anda temukan diri anda berada dalam
situasi di mana anda tidak damai, jika amarah muncul dalam diri anda, jika
anda teriritasi, anda bisa saja mengucapkan kata-kata yang akan anda
sesali kemudian. Oleh karena itu, anda butuh perlindungan dan kerikil ini
adalah Buddha, kerikil ini adalah Sangha, kerikil ini adalah Dharma.
Itulah sebabnya, setelah menemukan kerikil anda, pergilah ke Buddha,
duduklah di dekat Buddha, dan tunjukkan Beliau kerikil itu: “Buddha yang
terkasih, inilah kerikilku. Aku hendak berlatih dengan kerikil ini. Aku
berjanji padaMu, Buddha yang terkasih, setiap kali aku marah, setiap
kali aku teriritasi, setiap kali aku tidak damai, setiap kali aku
menangis, akan kusentuh kerikil ini dan menggenggamnya dalam tanganku. Aku
akan bernafas secara mendalam agar dapat membawa kedamaian kembali, agar
dapat merubah kemarahan dalam diriku. Aku hanya akan bernafas secara
mendalam—nafas masuk aku akan menjadi tenang, nafas keluar, aku akan
tersenyum—hingga amarah itu pergi.”

Sungguh sangat bahaya sekali melakukan sesuatu di kala anda sedang
marah. Sangat bahaya sekali mengatakan sesuatu di saat anda sedang marah,
sebab anda dalam bahaya akan menimbulkan banyak kerusakan, melakukan
hal-hal yang merusak hubungan anda dengan seseorang, misalnya dengan ayah
anda, ibu anda, kakak laki-laki atau adik perempuan anda. Maka dari
itu, dalam latihan melindungi diri anda terhadap kemarahan anda, terhadap
perusakan, kerikil anda bagaikan buah pinus. Saya ulangi: kerikil itu
adalah Buddha, kerikil itu adalah Dharma, dan kerikil itu adalah Sangha.
Sangha berarti sebuah komunitas yang terdiri dari saudara-saudari yang
berlatih Perhatian Benar, yang berlatih kedamaian, yang berlatih suka
cita. Saya bawa Buddha menyertai diri saya, Saya bawa Dharma menyertai
diri saya, Saya bawa Sangha menyertai saya dalam kantong saya. Lihatlah,
kerikil ini terlihat seperti sesuatu yang dari luar diri anda. Anda
memungutnya dari alam terbuka, tapi jika anda berlatih dengan baik,
kerikil
ini akan menjadi sesuatu yang sangat dekat dengan anda dan kerikil ini
bisa masuk jauh ke dalam hati anda. Dan kerikil yang menyimbolkan
Buddha, Dharma, dan Sangha ini akan menjadi sesuatu yang sangat erat terkait
dengan diri anda dan akan selalu bersemayam dalam hati anda dengan
energi lindungannya. (bersambung)

Tuesday, February 15, 2005

Kekosongan Transmisi (2)

Konsumsi yang Berkesadaran

Y.A. Maha Biksu Thich Nhat Hanh
Diterjemahkan oleh Jimmy Lominto


Orang muda terbiasa mengatakan, “Aku punya kehidupanku sendiri untuk
dijalani. Hidupku adalah sesuatu yang berbeda. Kalian yang sebagai orang
tuaku, punya kehidupan kalian sendiri untuk dijalani, Kami masih muda
dan kami punya kehidupan kami sendiri untuk dijalani. Jadi, mohon
berikan kebebasan kami untuk menjalani kehidupan kami sendiri.” Itulah yang
dikatakan orang muda jaman kita ini. Tapi ketika anda melihat realitas
segala sesuatu secara mendalam, anda akan melihat bahwa anda sama sekali
tidak terpisah; kita tidak terpisah. Anak-anak dan orang tua sebenarnya
adalah realitas yang tunggal. Jika orang tua menderita, anak-anak pun
menderita. Maka dari itu, kita harus melihat secara mendalam, kita harus
lihat dengan jelas bahwa kita sebenarnya adalah realitas yang tunggal.
Kita harus kerja bersama dan kita harus saling memahami satu dengan
lainnya. Kita harus latih non diskriminasi.

Ketika anda mandi, anda berkesempatan untuk melihat tubuh anda secara
mendalam. Tubuh ini telah diturunkan orang tua anda kepada anda. Dalam
agama Buddha kami bicara tentang “Kekosongan Transmisi.” Apa yang
dimaksud dengan kekosongan transmisi? Maksudnya adalah dalam transmisi selalu
ada tiga elemen: orang yang menurunkan, obyek yang diturunkan, dan
orang yang menerima transmisi. Ketika anda sedang mandi, lihatlah tubuh
anda dan katakan, “Ini adalah sesuatu yang diturunkan orang tuaku
kepadaku. Tubuhku adalah obyek transmisi.” Dan tanyalah diri anda, “Apakah ada
perbedaan antara orang tua yang menurunkan tubuh ini dan tubuh yang
telah diturunkan?” Dan jawabannya adalah orang yang menurunkan dan apa
yang diturunkan sesungguhnya adalah manunggal, sebab orang tua anda telah
menurunkan tubuh ini, tapi sebenarnya mereka telah menurunkan diri
mereka pada anda dalam tubuh ini. Ketika anda berlatih untuk melihat secara
mendalam, anda akan melihat bahwa obyek transmisi adalah orang yang
telah
melakukan transmisi. Ayah anda telah menurunkan dirinya dan ibu anda
juga telah menurunkan dirinya. Keseluruhan diri mereka telah diturunkan
kepada anda.

Saat anda menanyakan pertanyaan kedua, “Siapakah orang yang menerima
transmisi itu?” Andalah orang yang telah menerima obyek transmisi itu,
yaitu: tubuh ini. Apakah anda adalah sesuatu yang terpisah atau apakah
anda merupakan sesuatu yang sama dengan obyek transmisi tersebut?
Jawabannya adalah anda adalah sesuatu yang sama dengan obyek transmisi
tersebut. Maka dari itu, saat anda melihat tubuh anda, saat anda melihat
pikiran anda, anda akan melihat anda hanyalah kontinuasi atau penerusan
dari orang tua dan leluhur anda. Anda tidak punya diri yang terpisah. Anda
bukanlah suatu entitas yang terpisah. Itulah ajaran Buddha: tiada diri
yang terpisah, yang ada hanyalah tanpa diri. Anda disebut “tanpa diri”
karena anda tidak punya diri yang terpisah: Jika anda sentuh diri anda
secara mendalam, anda akan menyentuh orang tua yang ada di dalam diri
anda dan pada saat yang sama, anda juga akan menyentuh semua leluhur
yang ada dalam diri anda, oleh karena itu, yang ada hanyalah satu arus
kehidupan. Itulah realitas yang akan anda lihat manakala anda
menyentuh diri anda secara mendalam.

Ketika seorang anak muda berkata, “Ini adalah tubuhku dan aku bisa
berbuat semau aku padanya,” deklarasi macam ini tidak berasal dari
realitas. Itu adalah persepsi yang keliru, sebab, tubuh ini bukanlah anda,
tubuh ini adalah milik leluhur anda, orang tua anda, kakek nenek anda;
tubuh ini juga merupakan milik anak-anak anda, cucu-cucu anda yang belum
lagi muncul tapi sudah tersedia di dalam tubuh anda. Ini disebut insight
yang mendalam, insight yang akan muncul manakala anda tahu bagaimana
melihat secara mendalam dan menyentuh keberadaan diri anda secara
mendalam. Dengan demikian, saat anda melihat dalam cara demikian, spirit non
diskriminasi akan mewujud dan anda akan melihat dengan jelas bahwa
kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat kolektif dan bahwa anda tidak bisa
lagi pergi mencari kebahagiaan individual anda sendiri. Pencarian akan
kebahagiaan individual adalah sesuatu yang naif, sama sekali tidak
realistis. Maka dari itu, kita perlu duduk bersama, berlatih untuk melihat
bersama secara mendalam, bersama menemukan realitas, dan kita akan
melihat bahwa ternyata diperlukan kerja sama agar kebahagiaan menjadi
dimungkinkan. (bersambung)

Tak membedakan (1)

Konsumsi yang Berkesadaran

Y.A. Maha Biksu Thich Nhat Hanh
Diterjemahkan oleh Jimmy Lominto


Kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat kolektif. Kebahagiaan tidak
bisa bersifat individual. Itulah yang saya pelajari dari agama Buddha.
Dalam hubungan, misalnya dalam hubungan antara ayah dan putranya, atau
ibu dan putrinya, kita akan melihat jika putranya tidak bahagia, maka
mustahil bagi sang ayah untuk bahagia. Demikian pula dengan ibu dan
putrinya. Jika anaknya tidak bahagia, si ibu tidak akan benar-benar bahagia.
Maka dari itu, agar pihak lain bisa bahagia, anda, anda sendiri perlu
bahagia. Dan agar anda bisa bahagia, anda perlu membuat orang lain
bahagia. Jika ayah terlalu banyak menderita, mustahil bagi anak untuk
menikmati hidup, menjadi bahagia. Maka dari itu, kita harus berusaha
melakukan apa yang dapat kita bantu untuk menolong sang ayah agar menderita
lebih sedikit. Upaya itu akan membuat anda bahagia—upaya itu adalah untuk
kesejahteraan diri anda juga.

Dalam agama Buddha ada sejenis kebijaksanaan yang disebut “Pikiran Non
Diskriminasi” [pikiran yang tidak membeda-bedakan].” Pikiran ini
dideskripsikan sebagai “Kebijaksanaan Non Diskriminasi,” dan jika kita dapat
mengolah kebijaksanaan ini dalam diri kita, kita akan dapat membawa
banyak sekali kebahagiaan pada diri kita maupun orang lain, orang yang
kita cintai, dan bahkan orang yang tidak kita kasihi.

Lihatlah tangan saya, tangan kanan saya. Tangan ini sungguh
menakjubkan. Ia bisa tulis puisi. Saat anda melihat tangan saya, anda tidak
melihat puisi, anda tidak melihat sajak, tapi anda tahu tangan ini punya
kapasitas untuk menulis puisi, tangan ini dapat menulis kaligrafi, dan
ratusan puisi telah ditulis tangan kanan ini. Pada saat kita melihat tangan
kiri, kita bertanya pada diri sendiri, “Apakah tangan kiri juga bisa
tulis puisi?” Sebenarnya, tangan kiri saya belum pernah tulis puisi, tapi
ia tidak merasa minder karena hal ini, sebab dalam tangan kiri ini ada
pikiran yang disebut pikiran non diskriminasi. Ia melihat bahwa ia
manunggal adanya dengan tangan kanan dan tangan kanan tidak berpikir,
“Akulah si tangan kanan. Akulah yang melakukan segalanya. Kau, si tangan
kiri, kau sungguh tiada guna.” Tangan kanan tidak punya pemikiran seperti
itu—tidak pernah, tidak akan pernah! Di dalam tangan kanan ada pikiran
non diskriminasi. Bagi si tangan kanan, sama sekali tidak ada
perbedaan.
Ada kemanunggalan yang sempurna antara tangan kanan dan tangan kiri.
Kanan dan kiri manunggal adanya. Maka dari itu, tiada kecemburuan, tiada
bangga-banggaan, tiada diskriminasi. Itulah sebabnya mengapa tangan
kiri bahagia: sebab, tangan kiri bukanlah obyek diskriminasi si tangan
kanan. Dan setiap kali terjadi sesuatu pada si tangan kiri, tangan kanan
tahu apa yang sedang terjadi pada si tangan kiri dan tangan kanan akan
segera melakukan sesuatu untuk meringankan derita si tangan kiri.

Suatu ketika saya sedang menggantung lukisan ke atas dinding. Saya
sedang pegang palu di tangan kanan saya. Saya tidak tahu kenapa, bukannya
memantek paku, malah saya pantek jari saya dan tangan saya pun
kesakitan, jatuhlah paku itu. Segera tangan kanan saya meletakkan palu dan
merawat tangan kiri saya dan ia lakukan segala yang bisa dilakukannya untuk
meringankan derita tangan kiri saya. Aksi tangan kanan ini bisa
dideskripsikan sebagai berdasarkan pikiran non diskriminasi. Tangan kanan
merawat tangan kiri tanpa berpikir secara diskriminatif, “Akulah si tangan
kanan, aku sedang merawat tangan kiri.” Tidak ada diskriminasi macam
itu. Dengan demikian, tangan kanan bertindak dalam cara yang tidak
diskriminatif. Ada saat-saat ketika tangan kanan bekerja sama dengan tangan
kiri untuk melakukan sesuatu, main piano misalnya; kedua tangan bekerja
sama untuk menghasilkan musik dan ada keselarasan yang sempurna antara
kedua tangan itu. Maka dari itu, jika anda lihat tubuh anda, pikiran
anda
secara mendalam, anda akan melihat bahwa pikiran non diskriminasi,
spirit non diskriminasi sudah ada di dalam diri anda. Dan jika anda
gunakan spirit ini dalam hubungan anda dengan orang lain, maka kebahagiaan
pun menjadi dimungkinkan. (Bersambung)