Friday, August 06, 2004

ANNATA

Pikiran (Citta) atau keadaan bathin , pada kenyataannya timbul dan lenyap seketika dan disusul kembali dengan bentuk ‘Citta’ yg lain. Ini terjadi secara berkesinambungan dengan cepat sekali bagaikan kilat (dalam buku “The Buddha’s explanation of the Universe” terbitan tahun 1957 oleh penerbit Lanka Bauddha Mandalaya Fund,135,Turret Road,Colombo, Ceylon , dengan author seorang sarjana Buddhis asal Ceylon bernama C.P.Ranasinghe , menyebutkan bahwa “ The Buddha declared that the primary factor of the universe is the mind (Citta), and that the force of the mind is supreme. The Buddha explained that each living being in the universe is a unit of mind and said that in features and performance a unit of mind resemble a unit of element, if not for the fact that in rapidity it is faster and in force it is immeasurably greater. The mind beats at the speed of about 3,000,000,000,000 per duration of a flash of lightning and this rate of repetition is regular and constant”)



Karena demikian cepatnya perubahan dari timbul dan lenyapnya ‘Citta’, maka seolah-olah hal itu hanya berupa satu ‘Citta’ (keadaan ini sering diartikan sebagai pikiran). Kondisi seperti demikian sering menimbulkan anggapan bahwa ‘Citta’ itu sebagai ‘Aku’

Untuk alasan yg sama, kata ‘Pikiran’ juga memberikan gagasan yg salah. Kita sering mendengar perkataan ‘menguasai pikiran’ atau ‘mengontrol pikiran’, sehingga banyak orang berpikir bahwa pikiran adalah sesuatu yg statis, dapat dikuasai dan di control. Pada kenyataannya, bentuk-bentuk pikiran itu tidak dapat kita tetapkan sebagai ‘Aku’ atau ‘Kepunyaanku’



Apabila kita berkuasa atas diri kita, tidak mungkin kita akan menjadi tua, sakit dan mati. Oleh karena itu, menjadi tua ,sakit dan mati tidak dapat kita hindari. Tidak akan….dan tidak akan pernah kita dapat menjadi tuan dari pikiran kita sendiri. Perasaan senang dan tidak senang tidak dapat kita bentuk dengan semau kita. Hal ini akan timbul apabila ada kondisi yg tepat ( paticasammupada), yang menunjang kearah itu. Jika kita sedang menyantap makanan yg telah kita persiapan sesuai selera, pasti akan menyenangkan sekali untuk disantap. Jika orang lain menghina, timbul perasaan marah yg tidak dapat kita hindari. Kita dapat membuat seribu alasan sesudahnya dan berusaha utk mengerti orang lain, tetapi kita tidak dapat menghindari perasaan marah yg telah timbul sebelumnya. Karenanya, perasaan suka dan tidak suka dan bahkan mempersoalkan kesukaan dan ketidaksukaan, semuanya ternyata bukanlah ‘Aku’. Sebenarnya hal itu terdiri dari keadaan bentuk-bentuk ‘Citta’ (pikiran) yg timbul sebagai akibat kondisi-kondisi yg tepat untuk menimbulkannya.



Kita cenderung menganggap bahwa pikiran sebagai ‘Aku’, misalnya, apabila kita menyenangi sesuatu, kita menganggap kesenangan itu sebagai ‘Aku’ ; padahal realitanya, pada momen-momen yg lain, kita memiliki ketidaksukaan; keadaan ini membuat kita menjadi heran……kemana gerangan perginya sesuatu yg kita sebut sebagai ‘Aku’ itu?

Cukup manusiawi jika orang memiliki gagasan tentang ‘Aku’ dan berpegang teguh pada hal itu. Guru Buddha pun mengetahui hal itu. Oleh sebab itu, setelah menembus ‘Pencerahan Agung’, Beliau merenung sejenak untuk cenderung tidak mengajarkan ‘Jalan’ yg telah ditemukanNya kepada umat manusia. Akan tetapi, Guru Buddha juga mengetahui bahwa manusia mempunyai tingkat kemampuan bathin/pikiran/pengertian yg berbeda-beda. Dapat kita baca dalam Samyutta Nikaya (Sagatha-Vagga, Bab VI, Brahma Sutta bab 1 bagian pertama The Entreaty), bahwa Guru Buddha kemudian menembusi dunia dengan pandangan Buddha dan melihat manusia memiliki tingkat kebathinan yg berbeda-beda, yg mana beberapa diantaranya sebenarnya dapat menerima ajaranNya.

“Seperti teratai-teratai yg berwarna biru, merah atau putih di dalam sebuah kolam, dimana beberapa pucuk teratai masih berada di bawah permukaan air dan beberapa yg sedang tumbuh menuju ke permukaan air, serta beberapa bunga yg sudah muncul di permukaan air, tanpa terkena lumpur; demikianlah Sang Tathagata melihat dunia ini dengan mata bathinNya. Ia melihat makhluk-makhluk yg bathinnya masih sedikit kekotorannya dan yg masih tebal kekotorannya, makhluk-makhluk yg cerdas dan yg dungu, yg baik dan yg buruk wataknya, yg patuh dan yg tidak patuh; beberapa diantara mereka dihantui kekuatiran akan perbuatan-perbuatan salah yg telah dilakukan dan kekuatiran akan dilahirkan di alam yg tidak diinginkan. Oleh karena itu, Guru Buddha bertekad utk mengajarkan ‘Jalan’ yg telah ditemukanNya demi kebahagiaan semua makhluk”



Citta (pikiran) atau bathin mempunyai kondisi, dan tiap ‘Citta’ menumpuk pengalaman baru, yg akan memberi kondisi pada ‘Citta’ yg akan datang. Setiap orang menimbun selera, kemampuan, kesukaan dan ketidaksukaan yg berbeda-beda. Seseorang tidak selamanya dpt mengetahui suatu kondisi yg menyebabkan seseorang berlaku seperti ini atau seperti itu. Tetapi kadang-kadang dapat diketahui, misalnya ada seseorang yg melekat pada benda-benda tertentu, diantaranya ada yg sangat merusak/merugikan orang lain. Edukasi seseorang dan lingkungan dimana ia berdiam, merupakan suatu kondisi untuk terjadinya berbagai bentuk ikatan (kebiasaan-kebiasaannya). Di beberapa daerah terdapat kebiasaan meminum kopi secara berlebih-lebihan sepanjang hari, dan bahkan ada yg memberikan kopi kepada anak yg masih kecil, sehingga orang-orang tersebut sudah mengenal rasa kopi semenjak kecil. Kecanduan meminum alcohol juga terjadi melalui proses yg sama. Pada mulanya orang mulai meminum alcohol sedikit demi sedikit setiap hari, dan secara bertahap keterikatannya semakin bertambah. Setiap orang harus berusaha mengetahui sampai sejauh mana keterikatan yg telah ditimbunnya, dan berusaha menilai apakah hal demikian memberikan rasa bahagia atau malah sebaliknya.



Pengertian tentang keadaan yg sesungguhnya (Kebijaksanaan/Prajna/Panna), dapat memberikan kondisi pada seseorang untuk memperoleh ‘Citta’ yg baik dan menerapkan moral-kebajikan. Tidak ada ‘Aku’ yg dapat memaksa kita utk berbuat atau melakukan moral-kebajikan. Setiap orang dapat membuktikan hal ini dalam kehidupan sehari-hari melalui realisasi pandangan segala sesuatu sebagaimana apa adanya. Misalkan, seseorang berkata : “hari ini ‘Aku’ akan melakukan kebaikan pada setiap orang”; dapatkah kita mencegah diri utk tiba-tiba berkata yg kurang baik? Pada umumnya hal ini terjadi tanpa kita sadari terlebih dahulu. Jika kita dpt menekan rasa amarah kita utk sejenak, maka kita cenderung berpikir bahwa ada ‘Aku’ yg dapat menekan hawa amarah. Sesungguhnya, pada saat itu ada ‘Citta’ lain yg bukan berkondisi marah, yg timbul dari kondisi-kondisi yg lain. Setelah itu, timbul lagi kemarahan, karena rasa marah itu sebenarnya tidak bisa hilang/terhapus begitu saja oleh suatu ‘tekanan’. Hanya Panna /Kebijaksanaan yg dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yg dpt melenyapkan segala sesuatu yg kurang baik di dlm diri kita secar bertahap. Akan tetapi, kebijaksanaan itu bukan lah ‘Aku’ ; hal ini dpt timbul/terjadi apabila ada kondisi-kondisi yg tepat ke arah itu . Kita dapat mengalami semua fenomena/gejolak bathin dan fisik di dlm dan di sekeliling kita. Bila kita telah dpt memahami bahwa tidak ada satu pun dari fenomena-fenomena bathin dan fisik ini yg tetap/kekal, maka sekarang kita mengerti bahwa fenomena-fenomena tsb bukanlah ‘Aku’. Guru Buddha menerangkan kepada kita semua, bahwa dengan pengertian dan pemahaman, yakni melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka perbuatan jahat (akusala kamma) dapat dilenyapkan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home