Oleh : Yulia
Editor : Junarto M Ifah &
Kemmagiri Mitto
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman bercerita tentang kemarahan.
Mari kita simak cerita teman kita, Yulia. Ia akan bercerita tentang
pengalamannya seminggu yang lalu. Kala itu, ia berpergian ke Singapura
untuk berlibur selama satu minggu. Hatinya senang sekali, apalagi ada
bonus tujuan, yaitu tujuan spiritual.
Ia mengunjungi Buddhist Fellowship (BF) pada minggu paginya, dari sana
ia tahu akan ada ceramah umum yang akan disampaikan oleh Ajahn
Brahmavamso di Vihara Kuang Ming San (Kong Men San Por Kark See
Monastery), Selasa, 10 Agustus 2004. Ia membicarakan niatannya untuk
menghadiri ceramah umum tersebut dengan kawannya yang bekerja di
Singapura.
Jadwal ceramah dimulai pada pukul 07.30 malam, namun mereka tiba di
sana pada pukul 08.30 malam. Terlambat sampai satu jam. Memang
sebelumnya, kawannya mengajak Yulia untuk makan malam terlebih dahulu,
karena ceramah tersebut cukup panjang, 3 jam lamanya. Ia menyetujuinya.
Setelah selesai, untuk menghindari keterlambatan, mereka naik taksi ke
vihara tersebut. Sayangnya, terjadi kesalahpahaman antara supir taksi dan
Yulia. Bukannya membawanya ke Vihara yang dituju, yang terletak di daerah
sekitar Bishan/Ang Mo Kio, supir taksi itu malah mengantarkan mereka ke
Vihara yang lain, yang terletak di Toa Pa Yoh. Sejak itulah Yulia mulai merasa
marah.
Semua itu dikarenakan ia tidak ingin terlambat
mendengarkan ceramah itu, saat yang istimewa baginya
untuk bertemu dan mendengarkan ceramah Ajahn Brahm
lagi. Ia tidak dapat menghentikan kemarahannya, dan mulai
mengganggu emosinya. Bahkan ia semakin marah dan
sulit berkonsentrasi dalam mendengarkan ceramah. Karena
makin marah, ia mulai menyalahkan dirinya dan kawannya.
Ia berpikir bila ia tidak makan malam, maka ia tidak akan
terlambat. Atau bila mereka menaiki bus umum, maka
mereka tidak terlambat. Atau bila ia tiba lebih pagi, maka
mereka akan duduk di barisan depan, bukan di belakang,
di lantai atas. Selama ceramah itu, ia tidak berbicara dengan
kawannya karena ia berpikir bahwa kawannya adalah
bagian dari kemarahan itu. Ia melengos. Bahkan ia tidak
mau melihat atau duduk disampingnya. Baginya kawannya
adalah orang asing saat itu.
Tetapi kawannya, seorang yang cukup bijak dan mulai
menasehati Yulia dengan berkata, "Nah., dengarkan, Ajanh
Brahm berceramah tentang cinta kasih, dan sepertinya
kamu belum dapat melaksanakannya. Benar tidak? Mana
yang baik, mendengarkan ceramah secara utuh dan kamu
tidak mempraktikkannya atau mendengarkan ceramah
hanya sebagian tapi kamu tetap sabar dan tenang, tidak
ada kemarahan di hatimu?
Tujuan kita kemari adalah untuk menemukan kebahagiaan,
namun kamu sangat marah malam ini. Ini merupakan
penderitaan, benar tidak? Dhamma adalah jalan hidup,
harus dilaksanakan setiap saat. Setiap bagian, setiap
langkah adalah Dhamma. Mempraktikkan lebih baik dari
hanya sekedar menghafal. Cobalah biarkan yang sudah
berlalu, jangan terikat pada ceramah tetapi berusaha untuk
melepaskannya."
Yulia sangat berterimakasih pada kawannya karena
mengingatkan hal tersebut. Bila ia marah selama satu jam,
maka ia akan menderita selama satu jam, semakin lama
ia marah, akan semakin menderita dirinya. Ia segera
menyadari dan menyesalinya. Ia tahu bahwa dirinya masih
jauh dari kesempurnaan.
Menjadi orang yang bijaksana sangatlah penting. Ini
mengingatkan orang lain untuk menyucikan pikiran dan
berbuat kebajikan serta menghindari perbuatan jahat. Ia
sadar akan kebodohan diri sendiri karena marah kepada
seseorang yang sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Masing-masing dari kita bisa marah, itu sudah biasa, tetapi
menyadari ego sendiri sangatlah penting. Masing-masing
dari kita memiliki pandangan yang berbeda. Mengapa kita
harus terganggu karenanya? Ia menyadari cukup lama
bahwa kita bisa marah karena perbedaan presepsi,
pandangan, pengertian. Kita masih sangat jauh dari
sempurna, sebab persepsi adalah hanya persepsi, tidak
lebih dari itu. Ini bukanlah kebenaran sejati. Ini bukanlah
Dhamma. Kadang-kadang kita dapat menjadi marah karena
orang tidak dapat kita temui, tidak melihatnya. Kadang
pula kita hanya bertemu orang melalui email, di sebuah
mailing list buddhis, lalu kita mengajaknya berdebat dan
mulai tidak menyukai orang itu, bukankan tindakan ini lucu?
Ingat, Dhamma itu untuk dipraktekkan, bukan NATO (No
Action Talk onfiltered= tidak melakukan apa-apa, hanya bicara).
Bila anda mulai marah, sadari, perhatikan. Semua itu anda
yang menentukan. Anda dapat menghilangkan kemarahan
atau menyimpannya sehingga membuat anda menderita.
Bila anda membuka Dhammapada, maka anda akan
menemukan kata-kata yang bijaksana.
"Hendaklah orang menghentikan kemarahan dan
kesombongan, hendaklah ia mengatasi semua
belenggu. Orang yang tidak lagi terikat pada batin dan
jasmani, yang telah bebas dari nafsu-nafsu, tak akan
menderita lagi.
Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih dan kalahkan
kejahatan dengan kebajikan. Kalahkan kekikiran dengan
kemurahan hati, dan kalahkan kebohongan dengan
kejujuran"
Semoga kita semua berbahagia dan damai. Semoga semua
mahkluk berbahagia.
==========================
Jangan khawatir tidak bisa
menyelesaikannya, yang
harus dikhawatirkan adalah
bila tidak melakukannya
sama sekali.
[Master Shih Cheng Yen]