Wednesday, September 22, 2004

Orang Beragama atau Orang Berbudi ?

Seorang lelaki berniat untuk menghabiskan seluruh
waktunya untuk beribadah. Seorang nenek yang merasa
iba melihat kehidupannya membantunya dengan membuatkan
sebuah pondok kecil dan memberinya makan,
sehingga lelaki itu dapat beribadah dengan tenang.

Setelah berjalan selama 20 tahun, si nenek ingin
melihat kemajuan yang telah dicapai lelaki itu. Ia
memutuskan untuk mengujinya dengan seorang wanita
cantik. ''Masuklah ke dalam pondok,'' katanya kepada
wanita itu,''Peluklah ia dan katakan 'Apa yang akan
kita lakukan sekarang'?''

Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan
melakukan apa yang disarankan oleh si nenek. Lelaki
itu menjadi sangat marah karena tindakan yang tak
sopan itu. Ia mengambil sapu dan mengusir wanita itu
keluar dari pondoknya.

Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang
terjadi, si nenek menjadi marah. ''Percuma saya
memberi makan orang itu selama 20 tahun,''serunya.
''Ia tidak menunjukkan bahwa ia memahami kebutuhanmu,
tidak bersedia untuk membantumu ke luar dari
kesalahanmu. Ia tidak perlu menyerah pada nafsu, namun
sekurang-kurangnya setelah sekian lama beribadah
seharusnya ia memiliki rasa kasih pada sesama.''

Apa yang menarik dari cerita diatas? Ternyata ada
kesenjangan yang cukup besar antara taat beribadah
dengan memiliki budi pekerti yang luhur. Taat beragama
ternyata sama sekali tak menjamin perilaku
seseorang.

Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan disini.
Anda pasti sudah sering mendengar cerita mengenai guru
mengaji yang suka memperkosa muridnya.
Seorang kawan yang rajin shalat lima waktu baru-baru
ini di PHK dari kantornya karena memalsukan dokumen.
Seorang kawan yang berjilbab rapih ternyata suka
berselingkuh. Kawan yang lain sangat rajin ikut
pengajian tapi tak henti-hentinya menyakiti orang
lain. Adapula kawan yang berkali-kali menunaikan haji
dan umrah tetapi terus melakukan korupsi di kantornya.

Lantas dimana letak kesalahannya? Saya kira persoalan
utamanya adalah pada kesalahan cara berpikir. Banyak
orang yang memahami agama dalam pengertian ritual dan
fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama berarti
melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan melagukan
(bukannya membaca) Alquran.
Padahal esensi beragama bukan disitu. Esensi beragama
justru pada budi pekerti yang mulia.

Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian
peraturan dan larangan. Dengan demikian makna agama
telah tereduksi sedemikian rupa menjadi kewajiban dan
bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan
hukum (outside-in), bukannya dengan pendekatan
kebutuhan dan komitmen (inside-out). Ini menjauhkan
agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai sebuah
sebuah cara hidup (way of life), apalagi cara berpikir
(way of thinking).

Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan
tertinggi manusia. Kita tidak beribadah karena surga
dan neraka tetapi karena kita lapar secara
rohani. Kita beribadah karena kita menginginkan
kesejukan dan kenikmatan batin yang tiada taranya.
Kita beribadah karena rindu untuk menyelami jiwa
sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan dalam
keseharian kita. Kita berbuat baik bukan karena takut
tapi karena kita tak ingin melukai diri kita sendiri
dengan perbuatan yang jahat.

Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya bersekolah
di London dulu. Kali ini berkaitan dengan polisi.
Berbeda dengan di Indonesia, bertemu dengan polisi
disana akan membuat perasaan kita aman dan tenteram.
Bahkan masyarakat Inggris memanggil polisi dengan
panggilan kesayangan: Bobby.

Suatu ketika dompet saya yang berisi surat-surat
penting dan sejumlah uang hilang. Kemungkinan
tertinggal di dalam taksi. Ini tentu membuat
saya agak panik, apalagi hal itu terjadi pada
hari-hari pertama saya tinggal di London. Tapi setelah
memblokir kartu kredit dan sebagainya, sayapun
perlahan-lahan melupakan kejadian tersebut. Yang
menarik,beberapa hari kemudian, keluarga saya di
Jakarta menerima surat dari kepolisian London yang
menyatakan bahwa saya dapat mengambil dompet
tersebut di kantor kepolisian setempat.

Ketika datang kesana, saya dilayani dengan ramah.
Polisi memberikan dompet yang ternyata isinya masih
lengkap. Ia juga memberikan kuitansi resmi berisi
biaya yang harus saya bayar sekitar 2,5 pound. Saking
gembiranya,saya memberikan selembar uang 5 pound
sambil mengatakan, ''Ambil saja kembalinya.'' Anehnya,
si polisi hanya tersenyum dan memberikan uang
kembalinya kepada saya seraya mengatakan bahwa itu
bukan haknya.
Sebelum saya pergi, ia bahkan meminta saya untuk
mengecek dompet itu baik-baik seraya mengatakan bahwa
kalau ada barang yang hilang ia bersedia membantu saya
untuk menemukannya.

Hakekat keberagamaan sebetulnya adalah berbudi luhur.
Karena itu orang yang ''beragama'' seharusnya juga
menjadi orang yang baik. Itu semua ditunjukkan dengan
integritas dan kejujuran yang tinggi serta kemauan
untuk menolong dan melayani sesama manusia.


Kepemimpinan
Oleh: Arvan Pradiansyah, direktur pengelola Institute
for Leadership & Life Management (ILM) & penulis buku
Life is Beautiful

0 Comments:

Post a Comment

<< Home