Bom itu untuk siapa?
Bom itu untuk siapa?
Oleh : Hengki Suryadi
Editor : Junarto M Ifah & Khema Giri Mitto
Masih hangat ingatan kita akan bom yang terjadi di Hotel JW Marriott di Jakarta. Walapun sudah lebih dari setahun, ingatan ini tentu tidak akan hilang begitu saja dari para karyawan Bank Rabo. Saat itu rasa duka yang mendalam tampak jelas di wajah karyawan-karyawan Bank Rabo Indonesia yang mengurus jenazah Hans Winkelmolen. Almarhum sebetulnya akan segera pulang ke negaranya karena sudah merampungkan tugasnya sebagai General Manager Bank Rabo Indonesia sejak 1 Agustus 2003. Penggantinya pun sudah ada di Jakarta, yakni Antonio Costa, warga negara Kanada, yang luka-luka akibat ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta.
"Bapak Winkelmolen dan Bapak Costa berada di hotel itu dalam rangka pertemuan bisnis," kata Adri Triwicahyo, karyawan Bank Rabo Indonesia yang sibuk mengurus pengeluaran jenazah Winkelmolen dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Disebutkan dalam siaran pers yang dibagikan kepada wartawan, Rik van Slingelandt, anggota badan eksekutif Grup Bank Rabo, menyatakan sangat terkejut karena dua manajernya mejadi korban dalam ledakan bom itu. Antonio Costa sendiri telah dievakuasi ke sebuah rumah sakit di Singapura.
"Kami di Bank Rabo akan membantu keduanya semampu mungkin, terutama terhadap Maria (istri Winkelmolen) dan dua anak almarhum dalam mengatasi masa sulit ini," kata Van Slingelandt.
Menurut Adri, keluarga Winkelmolen masih berada di Belanda. Sambil menunggu mereka atau keputusan mereka, jenazah Winkelmolen akan disemayamkan di Rumah Duka Darmais di Jakarta Barat. Para karyawan Bank Rabo itu tidak bersedia memberi penjelasan lebih jauh mengenai kedua korban. Salah seorang di antaranya hanya mengatakan Winkelmolen, yang menjadi General Manager
Bank Rabo Indonesia sejak tahun 2000 profesional di bidangnya.
Selain sekadar menebar ketakutan, pelaku peledakan bom mungkin saja mempunyai motif tertentu yang berkaitan dengan ideologi maupun rasa ketidakadilan. Akan tetapi, akhirnya yang banyak menjadi korban adalah mereka yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Selain Winkelmolen, misalnya, sebagian besar dari sembilan korban meninggal dalam ledakan bom di Marriott itu adalah orang-orang kecil. Mereka adalah sopir taksi Silver Bird; Ujang Harna, Miftah Tobiin, Hidayat, Eyoh Zakaria, petugas satpam; Syamsuddin, Slamet Heryanto, Rudi Dwi Laksono, dan Johanes Boelan, seorang sopir pribadi.
Di atas cuma sekelumit korban bom yang tidak tahu untuk siapa. Dan tahun ini, tepatnya tanggal 9 September 2004, sebuah ledakan kembali terjadi. Ledakan ini berasal dari
sebuah bom yang memiliki daya ledak besar, dan meledak di depan Kedubes Australia pukul 10.25 WIB. Sedikitnya enam orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka dalam kejadian itu. Ledakan keras ini terdengar sampai lima kilometer dari tempat kejadian.
Seorang satpam kedubes Australia, Mujiono, beruntung masih selamat. Ia tertegun sesaat dan kemudian meratap melihat pemandangan yang memilukan itu. Di Jalan HR Rasuna Said, ia melihat mobil dan motor ringsek dan hangus terbakar. Ia hanya meratap. Ia tidak mengerti
mengapa teman-temannya yang tidak berdosa menanggung akibat ledakan bom itu. Korban ledakan kebanyakan orang yang berekonomi pas-pasan. Para korban itu penjual sate,
penyapu jalan, petugas keamanan bahkan anak kecil.
Siapa sebenarnya sasaran bom tersebut? Untuk siapa bom tersebut? Apakah terjadi salah sasaran korban? Banyak pertanyaan timbul dan sulit untuk mendapat jawaban. Bila kita tengok ke belakang sesaat, setelah kejadian 11 September 2001 lalu di Amerika Serikat, Yang Mulia Dalai
Lama menulis sebuah surat pribadi yang ditujukan kepada Presiden George W Bush. Beliau menulis seperti ini:
“Mungkin saya lancang dalam menulis surat ini, namun saya pribadi percaya bahwa kita perlu merenungkan apakah sebuah tindakan kekerasan dapat dibenarkan, demi negara dan masyarakat di kemudian hari. Saya percaya bahwa kekerasan hanya akan menambah lingkaran kekerasan itu sendiri.
Namun bagaimana menghadapi kebencian dan kemarahan yang merupakan sebab dari kekerasan?
Ini merupakan pertanyaan yang sulit, khususnya saat hal tersebut menyangkut negara dan kita sudah memperoleh gambaran jelas bagaimana menghadapi serangan-serangan itu. Saya yakin bahwa anda akan menentukan pilihan yang tepat.”
Serangan-serangan bom tersebut merupakan suatu tindakan balasan dari orang yang merasa tertindas. Mereka perlu menunjukan suatu tindakan yang nyata untuk menarik perhatian dunia. Mereka merasa perlu membalas apa yang orang (negara) lain lakukan kepada mereka, walaupun
korban yang mereka hasilkan adalah orang-orang tidak berdosa. Sangat disayangkan bahwa kepandaian itu digunakan hanya untuk membuat mahkluk lain menderita. Bukan memberikan suatu kebahagiaan.
Akhir kata, ada sebuah cerita dimana Yang Mulia Bhikkhu Nagarjuna ditanya apa sebenarnya rangkuman dari ajaran Sang Buddha?
Beliau dengan singkat menjawab, “Ahimsa”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya anti kekerasan.
Semoga semua mahkluk berbahagia dan damai.
Buletin Maya Dharma Mangala, 9 Oktober 2004, tahun II, no 14 2
Ingin berlangganan?
Kirim email kosong ke : Dharma_mangala-subscribe@yahoogroups.com
** Kunjungi juga website global Mabindo di www.mabindo.org **
0 Comments:
Post a Comment
<< Home